Beranda | Artikel
Harta Haram
Minggu, 19 Januari 2014

HARTA HARAM

Oleh
Ustadz Dr. Erwandi Tarmidzi

Pegertian Harta Haram
Yang dimaksud dengan harta haram adalah  setiap harta yang didapatkan dari jalan yang dilarang syariat[1].

Faktor Penyebab Akad Menjadi Tidak Sah Dan Hassilnya Merupakan Harta Haram
Ada 3 faktor yang menyebabkan sebuah akad tidak sah sehingga hasilnya menjadi harta haram, yaitu: riba, gharar dan zhulm.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sebuah akad yang tidak mengandung unsur gharar, riba dan zhulm tidak mungkin diharamkan syariat[2].”

Ibnu Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Faktor penyebab muamalat diharamkan adalah riba, zhulm dan gharar[3].

Berikut ini akan dijelaskan secara ringkas pengertian faktor-faktor penyebab muamalat menjadi diharamkan.

1. Riba
Secara bahasa riba artinya bertambah, sedangkan menurut istilah riba adalah menambahkan beban kepada pihak yang berhutang, atau menambahkan takaran saat melakukan tukar-menukar 6 komoditi (yaitu emas, perak, gandum, sya’ir, kurma dan garam) dengan jenis yang sama, atau tukar-menukar emas dengan perak dan makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai.

Riba terbagi menjadi :

  1. Riba dain : riba yang objeknya adalah penambahan hutang
  2. Riba ba’i : riba yang objeknya adalah akad jual-beli.

2. Gharar
Secara bahasa gharar berarti  resiko, tipuan, dan menjatuhkan diri atau harta ke jurang kebinasaan. Secara istilah gharar adalah jual beli yang tidak jelas kesudahannya. Sebagian Ulama mendefinisikannya dengan jual-beli yang konsekuensinya antara ada dan tidak.

Jenis gharar yang diharamkan:
a. Nisbah (prosentase) gharar dalam akad itu besar
Jika nisbah (prosentase) gharar yang ada dalam sebuah akad sangat besar maka akad ini diharamkan. al-Bâji berkata, “Gharar dalam jumlah besar, yaitu rasionya dalam akad terlalu besar sehingga orang mengatakan bahwa jual-beli ini adalah jual-beli gharar.”

b. Keberadaan gharar dalam akad itu mendasar.
Jika keberadaan gharar dalam akad merupakan pokok dari akad tersebut, maka akad ini menjadi haram. Ibnu Qudâmah rahimahullah berkata, “Gharar yang terdapat pada akad yang statusnya sebagai pengikut dibolehkan … seperti: menjual kambing yang sedang menyusui (menjual susu dalam kantung susu hewan mengandung unsure gharar, akan tetapi  dibolehkan karena statusnya hanyalah sebagai pengikut dalam transaksi), hewan ternak bunting (menjual janin di dalam perut induknya mengandung gharar, akan tetapi dibolehkan karena statusnya hanya sebagai pengikut dalam transaksi) … dan tidak boleh bila dijual terpisah (seperti menjual janin hewan ternak saja yang masih berada dalam perut induknya).

c. Akad yang mengandung gharar itu bukan termasuk akad yang dibutuhkan orang banyak.
Dibolehkan melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut dibutuhkan orang banyak, sedangkan jika sebaliknya maka akad menjadi haram. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Bila akad yang mengandung gharar sangat penting, bila dilarang akan sangat menyusahkan kehidupan manusia maka akadnya dibolehkan“.

d. Gharar yang terjadi pada akad jual-beli.
Boleh melakukan akad yang mengandung gharar jika akad tersebut terjadi pada hibah/wasiat, sedangkan untuk akad-jual beli hukumnya dilarang.

3. Zhalim
Zhulm berasal dari bahasa Arab yang berarti menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan berbuat zhalim.

Menurut istilah zalim berarti mengerjakan larangan serta meninggalkan perintah Allâh Azza wa Jalla . Dengan pengertian ini, maka setiap perbuatan yang melampaui ketentuan syariat adalah perbuatan zhalim yang diharamkan, baik dengan cara menambah atau mengurangi.

Penggunaan Harta Haram
Jika seseorang mengetahui dan menyadari bahwa tenyata pada sebagain hartanya ada harta haram maka yang harus kita lakukan adalah bertaubat kepada Allâh Azza wa Jalla . Untuk menyempurnakan taubatnya hendaklah ia mengeluarkan seluruh harta haram tersebut karena hakikatnya harta haram bukan miliknya.

Al-Ghazali rahimahullah berkata dan dinukil oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa itu merupakan pendapat Ulama Syâfi’iyyah, “Barangsiapa hanya memegang harta haram, maka ia tidak ada kewajiban berhaji, tidak ada kewajiban membayar kafarat karena ia diangggap tidak memiliki harta, tidak wajib zakat, karena zakat dikeluarkan dari 1/40 harta, sedangkan pemegang harta haram wajib mengeluarkan seluruh harta haram dengan cara dikembalikan kepada pemiliknya jika diketahui keberadaannya atau dibagikan kepada fakir miskin jika pemiliknya tidak diketahui.”[4]

Tata Cara Bertaubat Dari Harta Haram
Berikut ini rincian cara bertaubat dari harta haram:
1. Cara Bertaubat Dari Harta Haram Yang Merupakan Hasil Dari Muamalat Yang Dilakukan Tanpa Saling Ridha Dan Keberadaan Pemiliknya Yang Sah Masih Diketahui
Cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara mengembalikan barang atau uang kepada pemiliknya. Berdasarkan uraian ini, maka uang hasil korupsi wajib dikembalikan kepada pihak yang dirugikan, uang hasil jual-beli dengan cara penipuan wajib dikembalikan selisih antara harga normal dengan harga yang dijual kepada pembelinya, begitu juga dengan jual-beli barang dengan cara terpaksa[5].

Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ

Tangan yang mengambil barang orang dengan cara yang tidak diridhainya wajib menanggung barang tersebut hingga dikembalikan kepada pemiliknya. [HR. Ahmad. Menurut al-Arnauth derajat hadis ini Hasan lighairihi]

Barang atau uang yang didapat dengan muamalat tanpa saling ridha wajib dikembalikan jika diketahui pemiliknya dan masih ada barangnya serta belum terjadi perubahan pada bentuk fisiknya.

Jika barang atau uang tersebut lenyap sama sekali, maka untuk kesempurnaan taubatnya dia harus menggantinya atau meminta pemilik hak merelakannya.

.Jika terjadi perubahan pada barang, maka perubahan itu terjadi dalam beberapa bentuk :
a. Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi berkurang.
Pada kondisi ini orang yang berbuat dosa tadi hendaknya menyerahkan barang yang telah berubah nilainya itu serta memberikan ganti rugi sesuai dengan kekurangan atau penyusutan nilai barang tersebut.
b. Perubahan yang menyebabkan nilai barang menjadi bertambah, seperti kambing menjadi lebih gemuk atau beranak.
Pada kondisi ini, menurut salah satu pendapat dalam mazhab Hambali bahwa nilai tambah dari barang tersebut adalah milik kedua belah pihak yang harus dibagi rata. Pendapat ini lebih adil.

Jika terjadi perubahan pada uang, maka perubahan itu ada dua macam :
a. Jumlah uangnya berkurang.
Dalam kondisi ini, pelaku kezhaliman berkewajiban menambahnya atau meminta keikhlasan pihak yang dirugikan.
b. Jumlah uangnya bertambah, disebabkan pemilik yang tidak sah ini mengembangkannya dalam bentuk usaha, seperti seorang koruptor menginvestasikan uang hasil korupsinya dan mendapatkan laba yang banyak. Pada saat dia bertaubat, apakah modal dan keuntungan semuanya diserahkan kepada pemilik yang yang sah ?
Dalam hal ini sebagian Ulama berpendapat bahwa modal dikembalikan kepada pemilik yang sah. Adapun keuntungan dibagi dua antara pemilik yang sah dan pengembang. Pendapat ini Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Ibnu Qayyim rahimahullah.

Pendapat ini berdalil dengan kisah mudhârabah antara Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma dengan modal harta negara yang dititipkan oleh Abu Musa al Asy’ari Radhiyallahu anhu.

Dari atsar ini dapat diambil hukum bahwa keuntungan dari usaha yang modalnya berasal dari harta milik orang lain merupakan milik bersama antara pemilik modal yang sah dan pengembang modal yang keberadaan modal di tangannya tidak sah.

Harta Haram Dari Hasil Muamalat Yang Tidak Saling Ridha dan Tidak Diketahui Keberadaan Rekan Transaksinya 
Harta haram yang didapat dengan jalan tidak saling ridha antara dua orang yang bertransaksi dan tidak diketahui lagi keberadaan rekan transaksinya, serta tidak memungkinkan untuk mengembalikan barang atau uang kepada pemiliknya yang sah, maka untuk kesempurnaan taubat pemegang harta haram ini hendaklah menyedekahkan barang atau uang itu kepada para fakir-miskin, atau untuk pembangunan fasilitas umum dan untuk kemaslahatan lainnya. Dengan syarat sedekah diniatkan atas nama pemilik barang atau uang yang sah. Jika nanti di kemudian hari pemiliknya diketahui hendaklah ia memberikan pilihan kepadanya antara rela dengan uangnya yang telah disedekahkan atau ia menggantinya dan sedekah berubah menjadi miliknya (atas namanya).

Pendapat ini berdasarkan atsar dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu bahwa ia membeli seorang budak. Lalu  Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu membawa budak itu masuk ke rumah, kemudian ia menimbang uang emas sebagai harga budak tersebut.

Pada saat Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu keluar untuk menyerahkan uang kepada penjual budak, ia sudah tidak menemukan lagi penjual budak itu. Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu berusaha mencari serta menunggu penjual budak selama setahun. Setelah satu tahun berlalu, ia tidak juga menemukannya. Lalu ia sedekahkan uang harga budak itu seraya berkata, “Ya Allâh , sedekah ini atas nama pemilik budak, jika nanti dia datang maka akan aku beri dia pilihan antara sedekah tetap menjdi miliknya atau menjadi milikku dan aku ganti uangnya“. [HR. Bukhari].

2. Cara Bertaubat dari Harta Haram Hasil Muamalat yang Dilakukan atas Dasar Saling Ridha
Orang yang mendapatkan barang atau uang hasil muamalat atas dasar saling ridha, tetapi bentuk muamalatnya diharamkan Allâh Azza wa Jalla , seperti  pemberi dan pemakan harta riba saling ridha dalam akad riba yang mereka lakukan; Atau dua orang yang mengadu nasib dalam perjudian (akad gharar) saling ridha apapun yang terjadi; Atau dua orang yang saling ridha melakukan transaksi sogok-menyogok; Atau dua orang yang saling ridha melakukan jual-beli benda-benda najis atau yang diharamkan. Para pelaku muamalat haram ini terkadang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram, dan terkadang ia tahu, tetapi sengaja ia langgar.

a. Untuk orang yang tidak tahu bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya adalah haram, maka cara bertaubatnya saat ia mengetahui muamalat ini diharamkan adalah ia wajib berhenti dan tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan rekan transaksi kepadanya bahwa pada.

Adapun barang atau uang yang telah diterima dan telah digunakannya selama ini adalah miliknya dan ia tidak berdosa karena ia tidak mengetahui hukumnya dan semoga Allâh mengampuni kelalaiannya.

Ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَواج فَمَنْ جَاءَهُ, مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلىَ اللهِ

Allâh telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu ia berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allâh Azza wa Jalla . [al-Baqarah/2:275]

Ayat ini menjelaskan bahwa harta hasil riba yang telah diterima dan telah digunakan sebelum riba diharamkan tetap menjadi milik yang menerima. Dan hukum orang yang tidak tahu bahwa hukum riba adalah haram sama dengan orang yang belum diturunkan kepadanya ayat yang melarang riba.

Maka secara implisit ayat ini berarti bahwa harta riba yang belum diterimanya tidak halal lagi semenjak larangan turun atau semenjak ia mengetahui hukumnya adalah haram.[6]

b. Orang yang Tahu Bahwa Muamalat yang Ia Lakukan Hukumnya Haram
Untuk orang yang mengetahui bahwa muamalat yang dia lakukan hukumnya haram namun sengaja ia langgar, maka cara bertaubat dari barang atau uang hasil muamalat jenis ini adalah dengan cara tidak mengambil barang atau uang yang belum diserahkan lawan transaksi kepadanya.

Adapun barang atau uang yang telah diterima atau yang telah habis digunakan maka ia wajib memperkirakan nilainya dan menggantinya, lalu disedekahkan untuk fakir miskin atau kepentingan fasilitas umum, atau untuk baitul maal (kas negara) dalam rangka membersihkan dirinya dari dosa harta haram dan bukan disedekahkan atas nama orang yang memberikannya. Karena status harta tersebut bukan lagi milik si pemberinya. Status baru ini berlaku sejak ia memberikannya dengan suka-rela atas imbalan yang dia dapatkan, meskipun imbalan tersebut hukumnya haram.

Ini berdasarkan atsar dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu bahwa ia juga pernah menyita harta para gubernurnya yang dianggap haram lalu ia masukkan ke baitul maal.[7]

Ini menunjukkan bahwa harta haram dimasukkan ke baitul mal yang akan digunakan untuk kemaslahatan umat.

Dan juga boleh diberikan kepada fakir miskin berdasarkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ûd Radhiyallahu anhu tentang sedekahnya dari harta haram.

Namun, jika kondisi penerima harta haram yang didapat dari transaksi haram yang berdasarkan asas saling ridha  adalah seorang fakir miskin  maka ia boleh mengambilnya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, hingga ia mendapatkan harta yang halal.

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Bila harta haram diberikan kepada orang miskin, maka  harta itu tidak menjadi haram lagi di tangannya. Status harta itu ditangannya halal lagi baik. Dan jika pemegang harta haram adalah seorang yang miskin maka ia boleh mensedekahkan harta tersebut untuk dirinya dan juga keluarganya, karena pada diri mereka juga terdapat status kemiskinan, bahkan mereka lebih pantas untuk mendapat harta tersebut[8].

Ibnu Maudûd berkata, “Harta haram haruslah disedekahkan, jika ia gunakan untuk keperluan pribadinya dan dia adalah orang kaya ia mesti bersedekah dengan sejumlah harta tersebut, dan jika dia adalah orang miskin maka ia tidak perlu bersedekah.”[9]

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata, “Barangsiapa mendapatkan harta melalui usaha yang haram dan diserahkan dengan hati rela oleh orang yang memberinya, seperti uang hasil menjual arak, uang hasil perzinahan dan upah meramal nasib maka pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah jika dia tidak mengetahui hukum transaksi tersebut haram saat melakukannya, kemudian ia tahu hukumnya haram dan bertaubat maka harta itu halal dimakannya.

Tetapi, jika ia tahu bahwa hukumnya haram sejak awal transaksi kemudian dia bertaubat maka hendaklah ia mensedekahkan harta tersebut, dan harta itu halal bagi orang miskin yang menerima sedekahnya … Dan jika dia sendiri berstatus fakir miskin maka ia boleh mengambil sekedar menutupi kebutuhan pokoknya.”[10]

Ibnu Rajab berkata, “Harta yang harus disedekahkan karena pemiliknya tidak diketahui, seperti harta perampokan dan titipan … menurut qadhi Abu Ya’la boleh dimakan jika pemegang harta tersebut adalah seorang fakir miskin.”[11]

Demikian uraian singkat tentang harta haram, penggunaannya dan cara bertaubat darinya. Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan tulisan ringkas ini bermanfaat bagi kita semua.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Dr. Khalid Al Mushlih, at-Taubah minal Makâsib al Muharramah wa Ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 13.
[2] I’lâm al Muwaqqi’in, III/311.
[3] Al-Mumti’  IX/53.
[4] Ihya’ Ulumuddin, II/134.
[5] Dr. Khalid al Mushlih, At taubah minal makasib al muharramah wa ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 13.
[6] Dr. Khalid al Mushlih, at-Taubah minal Makasib al Muharramah wa Ahkamuha fil fiqh al Islami, Journal kementrian keadilan, Arab Saudi, edisi 38, Rabiul akhir 1429H, hlm. 35.
[7] Dr. Abbas al Bâz, Ahkam al Mâl haram fi fiqhil Islami, hlm. 345-346.
[8] Syarh al Muhazzab, IX/351.
[9] al Ikhtiyar li ta’lil al Mukhtar, III/61.
[10] al Fatawa al Kubra, V/421.
[11] al qawa’id, hlm. 129-130.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3817-harta-haram.html